Rabu, 02 Maret 2022

POSTER : SIFAT KOLIGATIF LARUTAN + CARA MEMBUATNYA

Saat ini, poster online banyak bertebaran di media sosial dan kita seringkali melihat poster muncul di timeline sosmed saat sedang scrolling. Poster-poster tersebut dapat berisi ajakan ataupun informasi yang bermanfaat. Ditambah, tidak sedikit pula media pembelajaran yang memanfaatkan poster untuk membuat materi pelajaran menjadi lebih menarik dilihat, sehingga siswa/i pun termotivasi untuk belajar. Aplikasi untuk membuat poster pun beragam dan yang sering digunakan saat ini (karena gratis dan banyak ide template yang tersedia) bernama Canva

 

Lalu, bagaimana cara membuat poster menggunakan Canva? Tentu mudah lho. Yuk simak langkah-langkah berikut πŸ‘‡

  1. Buka aplikasi Canva (dapat diakses melalui Handphone berupa aplikasi yang harus didownload atau melalui PC/Laptop berbasis web/download). 
  2. Kemudian, terlihat beragam template sesuai keinginan. Karena fokus kita ingin membuat poster, maka pada bagian template, pilih Poster
  3. Terlihat banyak contoh template poster disini dan silahkan pilih yang menurutmu sesuai dengan konten yang akan dibuat. (Misal, poster yang ingin dibuat berkaitan dengan materi pelajaran Kimia : Sifat Koligatif Larutan).
  4. Jika sudah menemukan template poster yang diinginkan, lalu klik untuk digunakan.
  5. Klik tulisan untuk mengedit. Di menu edit terdapat editing untuk mengedit bentuk font, ukuran, dsb. 
  6. Jika ingin menambah elemen atau mengeditnya, dapat mengklik Elemen dan terrlihat banyak elemen yang dapat digunakan secara gratis. 
  7. Jika sekiranya sudah tidak ada yang mau diedit lagi, klik icon untuk menyimpan desain. Voila desain sudah tersimpan di galeri handphone atau folder di laptop

Berikut Poster yang telah rampung mengenai salah satu topik Kimia; Sifat Koligatif Larutan :

Cara membuat poster di Canva menggunakan Handphone πŸ“± πŸ‘‡ : 

Cara membuat poster di Canva menggunakan PC/Laptop πŸ’»πŸ‘‡ : 



Semoga Bermanfaat 😊

Rabu, 16 Februari 2022

Model-Model Pengembangan Media Pembelajaran

1. Model ADDIE

Robert Maribe Branch mengemukakan model ADDIE (akronim dari analyze, design,    development, implementation, dan evaluation) sebagai pendekatan atau kerangka kerja yang efektif dan fleksibel dalam pemilihan media pembelajaran adaptif (Branch, 2009). Konsep ADDIE digambarkan sebagai berikut:

Prosedur pengembangan media pembelajaran berdasarkan model ADDIE Branch (Branch, 2009) adalah:

1.    Menganalisis kebutuhan kurikulum baku, kondisi lingkungan belajar, dan target pengguna media,

2.    Merumuskan rancangan media pembelajaran yang sesuai dengan hasil analisis,

3.    Merealisasi rancangan media pembelajaran dengan melibatkan tim pakar atau teman sejawat untuk memberikan masukan,

4.    Menggunakan media pembelajaran adaptif dan meminta umpan balik dari pengguna tentang kualitas media pembelajaran tersebut, dan

5.    Mengevaluasi dan merevisi media pembelajaran (Batubara,2019).


2. Model Dick dan Carey
Dick dan Carey menguraikan pentingnya menggunakan sebuah pendekatan sistematis dalam merancang instruksi. Komponen sistem tersebut meliputi guru, peserta didik, bahan ajar, dan lingkungan belajar.
Efektivitas pendekatan sistematis dalam merancang instruksi adalah untuk memberikan:

    1. Fokus ketika tujuan atau sasaran yang jelas dinyatakan di depan untuk memandu siswa desain instruksi,
    2. Hubungan yang cermat antara setiap komponen, dan
    3. Proses empiris dan dapat direplikasi. 

Model Dick and Carey mencakup langkah-langkah berikut:

    • Identifikasi tujuan instruksional
    • Melakukan analisis instruksional
    • Identifikasi perilaku masuk dan karakteristik pelajar
    • Tulis tujuan kinerja
    • Kembangkan item tes yang mengacu pada kriteria
    • Mengembangkan strategi instruksional
    • Mengembangkan dan memilih bahan ajar
    • Mengembangkan dan melakukan evaluasi formatif
    • Mengembangkan dan melakukan evaluasi sumatif (Khalil,2016).


3. Model Kemp

Merupakan sebuah model yang mengutamakan sebuah alur yang dijadikan pedoman dalam penyusunan perencanaan program. Alur tersebut merupakan rangkaian sistematis yang menghubungkan tujuan hingga tahap evaluasi (Pradhana,2014).

Model ini menekankan saling ketergantungan dari setiap langkah dalam proses, menyoroti pentingnya evaluasi, dan mengakui lebih banyak faktor lingkungan dalam pengaturan pendidikan (sumber daya dan dukungan, seperti anggaran, fasilitas, waktu, peralatan, personel dan bahan). Model Kemp juga sangat berguna untuk mengembangkan program instruksional yang memadukan teknologi, pedagogi, dan konten untuk memberikan pembelajaran yang efektif, andal, dan efisien (Ibrahim,2015). 


Model Kemp terdiri dari sembilan elemen yang disusun secara melingkar dalam bentuk bentuk lonjong;



Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa Model Desain Pembelajaran Kemp memiliki karakteristik berikut:

    1. Semua elemen saling bergantung.
    2. Semua elemen dapat dilakukan secara bersamaan.
    3. Pengembang dapat memulai dari mana saja.
    4. Kebutuhan pembelajaran, tujuan, prioritas, dan kendala menentukan solusi instruksional (Ibrahim,2015)

4. Model Borg dan  Gall
Model  ini  dikembangkan  oleh  Walter  R.  Borg  dan  Meredith  D.  Gall (1983).  Model  ini  juga  merupakan  model  prosedural  (cycle).  Model  awal  yang dikembangkan  10  tahap  atau  proses  yang  mesti  dilakukan.  
Kesepuluh  langkah  itu  sebagai berikut. 

    1. Research  and  information  collecting  (Penelitian  dan  pengumpulan  data)
    2. Planning  (Perencanaan)
    3. Develop  preliminary  form  of  product  (Pengembangan  produk  awal)
    4. Preliminary  field  testing  (Tes  dasar  awal)
    5. Main product revision  (Revisi  produk)
    6. Main  field  testing  (Uji  coba  lanjutan)
    7.  Operational  product  revision  (Revisi  produk  lanjutan)
    8. Operational  field  testing  (Uji  coba  lapangan)
    9. Final  product  revision  (Revisi  produk  akhir)
    10. Dissemination  and  implementation  (Diseminasi  dan  implementasi) (Defina,2018).


5. Model ASSURE

ASSURE merupakan sebuah desain pembelajaran yang dirancang untuk difokuskan pada perencanaan  pembelajaran agar terciptanya aktivitas  pembelajaran yang efektif dan efisien, khususnya  pada kegiatan pembelajaran yang menggunakan media dan tekhnologi. Desain pembelajaran model ASSURE lebih difokuskan pada perencanaan pembelajaran untuk digunakan dalam situasi pembelajaran di dalam kelas secara aktual (Iskandar,2020).

 

Model ASSURE terdiri dari 6 tahap yaitu

(1) menganalisis pebelajar,

(2) menyatakan standar dan tujuan,

(3) memilih strategi, teknologi, media dan materi,

(4) menggunakan teknologi, media dan materi,

(5) mengharuskan partisipasi pebelajar,

(6) mengevaluasi dan merevisi (Dewi,2015).



 

REFERENSI  

Akbulut, Y. (2007). Implications of two well-known models for instructional designers in distance education: Dick-Carey versus Morrison-Ross-Kemp. Turkish Online Journal of Distance Education8(2), 62-68.

 

Batubara, H. H., & Ariani, D. N. (2019). Model pengembangan media pembelajaran adaptif di sekolah dasar. Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah5(1), 33-46.

 

Defina, D. (2018). Model Penelitian dan Pengembangan Materi Ajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Indonesian Language Education and Literature4(1), 36-51.

 

Dewi, N. K. R. A., Jampel, I. N., & Agung, A. A. G. (2015). Pengembangan Multimedia Pembelajaran Interaktif IPA Dengan Model Assure Untuk Siswa Kelas VII SMP 1 Sawan. Jurnal Edutech Undiksha3(1).

 

Iskandar, R., & Farida, F. (2020). Implementasi Model ASSURE untuk Mengembangkan Desain Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu4(4), 1052-1065.

 

Khalil, M. K., & Elkhider, I. A. (2016). Applying learning theories and instructional design models for effective instruction. Advances in physiology education40(2), 147-156.

 

Pradhana, D., Hobri, H., & Susanto, S. (2014). PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KARAKTER DENGAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) POKOK BAHASAN PERSAMAAN LINIER SATU VARIABEL DI KELAS VII SEMESTER GANJIL SMP NEGERI 3 BANGSALSARI TAHUN AJARAN 2012/2013. KadikmA5(1).

Ibrahim, A. A. (2015). Comparative analysis between system approach, Kemp, and ASSURE instructional design models. International Journal of Education and Research3(12), 261-270.

Online Mind Map : How to Make it?

Berikut langkah-langkah membuat Mind Map menggunakan GitMind :

1. First thing first, kita tentukan terlebih dahulu situs tempat kita membuat mind map secara online. Misal saja, saya memakai situs https://gitmind.com/. Mengapa? Karena di situs tersebut sudah tersedia berbagai template menarik untuk membuat Mind Map. Selain itu, https://gitmind.com/ ini gratis lho~



2. Setelah mengunjungi situs tersebut, kita bisa menuju Get Started jika ingin membuat langsung. Bisa juga lho kalau ingin mendownloadnya lebih dulu. 


3. Setelah meng-klik Get Started, muncul halaman berikut : 
Tersedia banyak template dan terdapat berbagai kategori sesuai kebutuhan ; Bentuk Mind Map (kiri) atau Flowchart (kanan) 

*Dipilih-dipilih template nya (kayak orang lagi jualan ya mon maap) 

4. Kemudian, klik template yang ingin digunakan, dan muncul lah halaman berikut :
  
*Karena kita pakai template yang telah disediakan, kita hanya perlu mengedit isi/tulisan di dalam nya

5. Tahap akhir, setelah kita mengeditnya dengan mengisi tulisan/gambar atau dapat juga menambahkan hyperlink, hasil akhir Mind Map nya dapat kita eksport ke dalam berbagai format (JPG/PNG/PDF/WORD/TXT/GITMIND)



Selain mengikuti langkah di atas, berikut saya sertakan pula video yang menjelaskan lebih lengkap cara membuat Mind Map dengan GitMind πŸ‘‡




dan TADAA 
inilah hasil akhir mind map yang saya buat πŸ™Œ




Semoga bermanfaat 😁

Rabu, 09 Februari 2022

Literasi Media di Indonesia

Bicara mengenai literasi, dalam pengertian awalnya dipahami sebagai sebuah kemampuan untuk membaca dan menulis huruf dan angka yang berbasis teks atau tulisan/cetakan. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi yang memberi dampak besar dalam bidang komunikasi yang menggunakan media, maka tersedia banyak alternatif dalam berkomunikasi. Sehingga, pengertian teks dalam istilah literasi pun berkembang tidak sebatas teks tertulis saja namun mencakup juga suara, gambar, gabungan suara dan gambar, serta format lainnya yang terdapat dalam sebuah media (Guntarto,2016). 

Oleh karena praktik komunikasi banyak menggunakan media, maka kemudian dikenal istilah media literacy (literasi media).


Literasi Media memiliki definisi sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, menciptakan, mengevaluasi, serta bertindak menggunakan segala bentuk komunikasi.

 

Intinya, literasi media berusaha memberikan kesadaran kritis bagi khalayak ketika berhadapan dengan media. Kesadaran kritis menjadi kata kunci bagi gerakan literasi media. Literasi media sendiri bertujuan untuk, terutama, memberikan kesadaran kritis terhadap khalayak sehingga lebih berdaya di hadapan media.

πŸ‘‡Lebih lengkapnya mengenai Literasi Media, dapat menonton tayangan berikut ini πŸ‘‡


Lantas, Bagaimana Keadaan Literasi Media di Indonesia?

Dalam jurnal Limilia & Aristi (2019), terdapat tren penelitian mengenai literasi media di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar peneliti melakukan penelitian literasi media dilatarbelakangi oleh tingginya tingkat konsumsi media konvensional dan baru yang secara tidak langsung memberikan efek negatif pada khalayak. Tren riset literasi media selama sepuluh tahun terakhir juga menunjukkan bahwa peneliti cenderung mengkaji literasi dalam konteks penggunaan media konvensional dan baru. 


Tingkat Literasi Media

Berdasarkan tabel dibawah ini ditemukan bahwa sebagian besar khalayak dengan beragam latar belakang  memiliki keterampilan literasi media yang berbeda-beda. Namun, secara garis besar mereka sudah memiliki keterampilan akses yang sudah bagus. 







Referensi
Guntarto, B. (2016). Tantangan dalam Kegiatan Literasi Media di Indonesia. Ultimacomm: Jurnal Ilmu Komunikasi8(1), 1-36.
Limilia, P., & Aristi, N. (2019). Literasi Media dan Digital di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sistematis. Jurnal Komunikatif8(2), 205-222. (https://pdfs.semanticscholar.org/0555/d7305619caebcfbab09a412f7327af275165.pdf)

Rabu, 02 Februari 2022

RESUME MATERI : Building the New Field of Digital Media and Learning (hlm. 5-11)




Keterampilan yang Dibutuhkan dalam Budaya Media Baru
Jika mungkin untuk mendefinisikan secara umum misi pendidikan, dapat dikatakan bahwa tujuan dasarnya adalah untuk memastikan bahwa semua siswa mendapat manfaat dari pembelajaran dengan cara yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat,[Kreatif] dan kehidupan ekonomi.
           — New London Group (2000, p.9)
            
            Menurut penelitian tahun 2005 yang dilakukan oleh proyek Pew Internet and American Life (Lenhardt & Madden, 2005), lebih dari setengah remaja Amerika—dan 57 persen remaja yang menggunakan Internet—dapat dianggap sebagai pencipta media. Dari penelitian ini, pencipta media adalah seseorang yang membuat blog atau halaman web, memposting karya seni asli, foto, cerita atau video online, atau me-remix konten online menjadi kreasi baru mereka sendiri. Sebagian besar telah melakukan dua atau lebih aktivitas ini. Sepertiga dari remaja membagikan apa yang mereka buat secara online dengan orang lain, 22 persen memiliki situs web sendiri, 19 persen blog, dan 19 persen me-remix konten online.
            Berlawanan dengan stereotip populer, kegiatan ini tidak terbatas pada laki-laki pinggiran kota kulit putih. Faktanya, pemuda perkotaan (40 persen) agak lebih mungkin daripada rekan-rekan mereka di pinggiran kota (28 persen) atau pedesaan (38 persen) untuk menjadi pencipta media. Anak perempuan berusia 15-17 (27 persen) lebih mungkin daripada anak laki-laki seusia mereka (17 persen) untuk terlibat dengan blogging atau aktivitas sosial lainnya secara online. Para peneliti Pew tidak menemukan perbedaan signifikan dalam partisipasi berdasarkan ras-etnis.
            Studi Pew tidak mempertimbangkan bentuk ekspresi yang lebih baru, seperti podcasting, modding game, atau machinima. Juga tidak menghitung bentuk ekspresi dan apropriasi kreatif lainnya, seperti sampling musik di komunitas hip hop. Fokus kami di sini bukan pada pencapaian individu melainkan munculnya konteks budaya yang mendukung partisipasi luas dalam produksi dan distribusi media.


Mengaktifkan Partisipasi
Budaya Partisipatif 
Untuk saat ini, mari kita definisikan budaya partisipatif sebagai satu: 
1. Dengan hambatan yang relatif rendah untuk ekspresi artistik dan keterlibatan masyarakat 
2. Dengan dukungan kuat untuk menciptakan dan berbagi kreasi seseorang dengan orang lain 
3. Dengan beberapa jenis bimbingan informal dimana apa yang diketahui oleh paling berpengalaman diteruskan ke pemula 
4. Di mana anggota percaya bahwa kontribusi mereka penting 
5. Di mana anggota merasakan beberapa tingkat hubungan sosial satu sama lain (setidaknya mereka peduli apa yang orang lain pikirkan tentang apa yang telah mereka buat).

Tidak setiap anggota harus berkontribusi, tetapi semua harus percaya bahwa mereka bebas untuk berkontribusi ketika sudah siap dan bahwa apa yang mereka sumbangkan akan dihargai dengan tepat.

            Sebagian besar diskusi kebijakan publik tentang media baru berpusat pada teknologi—alat dan biayanya. Komputer dibahas sebagai kotak hitam ajaib yang berpotensi menciptakan revolusi pembelajaran (dalam versi positif) atau lubang hitam yang menghabiskan sumber daya yang mungkin lebih baik dikhususkan untuk kegiatan kelas tradisional (dalam versi yang lebih kritis). Komputer tidak beroperasi dalam ruang hampa. Menyuntikkan teknologi digital ke dalam ruang kelas tentu mempengaruhi hubungan kita dengan setiap teknologi komunikasi lainnya, mengubah perasaan kita tentang apa yang dapat atau harus dilakukan dengan pensil dan kertas, kapur dan papan tulis, buku, film, dan rekaman. 
            Daripada menangani setiap teknologi secara terpisah, lebih baik kita mengambil pendekatan ekologis, memikirkan hubungan timbal balik di antara semua teknologi komunikasi yang berbeda ini, komunitas budaya yang tumbuh di sekitar mereka, dan aktivitas yang mereka dukung. Sistem media terdiri dari teknologi komunikasi dan sosial, budaya, hukum, politik, dan lembaga ekonomi, praktik, dan protokol yang membentuk dan mengelilingi mereka (Gitelman, 1999). Namun, kegiatan-kegiatan ini menjadi tersebar luas hanya jika budaya juga mendukung mereka, jika mereka memenuhi kebutuhan yang berulang pada titik sejarah tertentu. 
"Menjadi penting alat apa yang tersedia untuk suatu budaya, tetapi yang lebih penting adalah apa yang dipilih budaya untuk dilakukan dengan alat-alat itu."
            Itulah sebabnya kami fokus dalam makalah ini pada konsep budaya partisipatif daripada teknologi interaktif. Budaya partisipatif muncul saat budaya menyerap dan merespons ledakan teknologi media baru yang memungkinkan konsumen rata-rata mengarsipkan, membuat anotasi, menyesuaikan, dan mensirkulasi ulang konten media dengan cara baru yang kuat. Tujuan kita seharusnya mendorong kaum muda untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, kerangka kerja etis, dan kepercayaan diri yang dibutuhkan untuk menjadi peserta penuh dalam budaya kontemporer. 
Banyak anak muda telah menjadi bagian dari proses ini melalui :
Afiliasi— keanggotaan, formal dan informal, dalam komunitas online yang berpusat pada berbagai bentuk media, seperti Friendster, Facebook, papan pesan, metagaming, gameclans, atau MySpace).
Ekspresi—menghasilkan bentuk-bentuk kreatif baru, seperti pengambilan sampel digital, skinning dan modding, pembuatan video penggemar, cerita fiksi penggemar, zine, mash-up).
Pemecahan masalah kolaboratif— bekerja sama dalam tim, formal dan informal, untuk menyelesaikan tugas dan mengembangkan pengetahuan baru (seperti melalui Wikipedia, permainan realitas alternatif, memanjakan). 
Sirkulasi— Membentuk aliran media (seperti podcasting, blogging).


Ruang Afinitas
            Ruang afinitas berbeda dari sistem pendidikan formal dalam beberapa hal. Sementara pendidikan formal sering konservatif, pembelajaran informal dalam budaya populer sering eksperimental. Sementara pendidikan formal statis, pembelajaran informal dalam budaya populer adalah inovatif. Ruang afinitas juga merupakan lingkungan yang sangat generatif, dari mana eksperimen dan inovasi estetika baru muncul. Laporan tahun 2005 tentang Masa Depan Media Independen (Blau, 2005) berpendapat bahwa kreativitas akar rumput semacam ini merupakan mesin penting transformasi budaya: 
         Lanskap media akan dibentuk kembali oleh energi bottom-up media yang dibuat oleh amatir dan penghobi sebagai hal yang biasa. Energi dari bawah ke atas ini akan menghasilkan kreativitas yang luar biasa, tetapi juga akan mengobrak-abrik beberapa kategori yang mengatur kehidupan dan karya pembuat media... Generasi baru pembuat media dan penonton sedang muncul yang dapat membawa perubahan besar bagaimana media dibuat dan dikonsumsi. (hal.3)
            Studi Pew (Lenhardt & Madden, 2005) menyarankan sesuatu yang : orang-orang muda yang membuat dan mengedarkan media mereka sendiri lebih mungkin untuk menghormati hak kekayaan intelektual orang lain karena mereka merasa lebih berkepentingan dalam ekonomi budaya. Kita bergerak menjauh dari dunia di mana beberapa orang memproduksi dan banyak mengkonsumsi media, menuju dunia di mana setiap orang memiliki kepentingan yang lebih aktif dalam budaya yang dihasilkan. 
            Anak-anak zaman sekarang belajar melalui bermain keterampilan yang akan mereka terapkan pada tugas-tugas yang lebih serius nantinya. Tantangannya adalah bagaimana menghubungkan keputusan dalam konteks kehidupan kita sehari-hari dengan keputusan yang dibuat di tingkat lokal, negara bagian, atau nasional. Langkah dari menonton berita televisi dan bertindak secara politik tampaknya lebih besar daripada transisi dari menjadi aktor politik di dunia game ke bertindak secara politik di "dunia nyata".
        Kami menduga bahwa kaum muda yang menghabiskan lebih banyak waktu bermain dalam lingkungan media baru ini akan merasa lebih nyaman berinteraksi satu sama lain melalui saluran elektronik, akan memiliki fluiditas yang lebih besar dalam menavigasi lanskap informasi, akan lebih mampu untuk melakukan banyak tugas dan membuat keputusan cepat tentang kualitas informasi yang mereka terima, dan akan dapat berkolaborasi lebih baik dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang beragam. Klaim ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Beckand Wade (2004) dan menyimpulkan bahwa gamer lebih terbuka untuk mengambil risiko dan terlibat dalam kompetisi tetapi juga lebih terbuka untuk berkolaborasi dengan orang lain dan lebih bersedia untuk merevisi asumsi sebelumnya. 
            Fokus pada nilai partisipasi dalam budaya media baru ini sangat kontras dengan laporan terbaru dari Kaiser Family Foundation (2005a,b) yang mengeluhkan banyaknya waktu yang dihabiskan kaum muda di "media layar". Laporan Kaiser meruntuhkan berbagai konsumsi media dan aktivitas produksi yang berbeda ke dalam kategori umum "screentime" tanpa mencerminkan secara mendalam pada berbagai tingkat konektivitas sosial, kreativitas, dan pembelajaran yang terlibat. Namun, fokus pada efek negatif dari konsumsi media memberikan gambaran yang tidak lengkap. Akun-akun ini tidak secara tepat menilai keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh kaum muda melalui keterlibatan mereka dengan media baru, dan sebagai akibatnya, mereka dapat menyesatkan kita tentang peran yang harus dimainkan oleh guru dan orang tua dalam membantu anak-anak belajar dan tumbuh.

Sebagai kesimpulan, menurut saya baik kaum muda maupun orang dewasa, masih perlu untuk menelusuri lebih jauh tentang peran media dan bagaimana budaya yang mendukung partisipasi luas dalam produksi dan distribusi media. Sebenarnya mereka kaum muda yang telah menciptakan media belajar mereka sendiri atas dasar keinginan atau hobi mereka adalah hal yang patut untuk diacungi jempol. Di zaman serba teknologi seperti sekarang ini ada banyak yang memanfaatkan teknologi sebagai media positif dan tidak sedikit pula yang hanya mengkonsumsi teknologi. Meskipun banyak kaum muda yang sukses dengan menciptakan media sesuai kemampuan mereka, namun ada saja pihak yang menggeneralisasi bahwa kaum muda hanya mengkonsumsi media dibanding memproduksi media positif. 

POSTER : SIFAT KOLIGATIF LARUTAN + CARA MEMBUATNYA

Saat ini, poster online banyak bertebaran di media sosial dan kita seringkali melihat poster muncul di timeline sosmed saat sedang scrolling...